Selasa, 24 Desember 2013

Abstraksi Simbolis: Karya Saldy Essana

Sejak di bangku sekolah dasar, saldy Essana, seperti yang dituturkan di sela-sela pertemuaan dengan penulis, ia telah mempunyai minat dalam bidang seni lukis. Sewaktu guru memberikan pelajaran menggambar, ia telah menunjukkan bakat tersendiri di bidang studi ini, kenangnya. Nilai pelajaran menggambar, tidak mengecewakan, bahkan selalu mendapat pujian dari sang guru.
Saat memasuki bangku SMP, pelajaran yang satu ini sangat dominan. Sket-sket sang guru tercinta atau teman-teman pujaan di sekolah tidak luput memenuhi buku-buku gambarnya. Sesama teman seangkatan, ia dikenal sebagai murid yang dipercaya untuk membuat dekor-dekor indah untuk menghiasi papan-papan aktivitas siswa, seperti majalah dinding, papan pengumuman atau kreasi lainnya. Pada saat sekolah mengadakan peringatan 17-an, berbagai macam kreasi dibuatnya sangat menarik.  Minat ini terus dijalaninya hingga memasuki bangku SMA hingga pada masa akhir studi.
Minat yang begitu dominan pada dunia seni lukis, kemudian ia meneruskan studi di Institut Kesenian Jakarta (IKJ), kenangnya. Sayang, studinya itu putus di tengah jalan, karena suatu hal yang dilakukan penuh kesadaran. Berlanjut kawin muda dengan gadis pujaannya. Ia sadar sebagai kepala rumah tangga, dengan berbagai hak dan kewajiban yang harus dipenuhinya. Kiat-kiat penopang kehidupan berusaha ditegakkan. Orangtua tidak tinggal diam dengan kenyataan itu. Mereka membekalinya dengan sepetak kios yang ada di depan rumahnya agar dapat mengadakan aktivitas ekonomi.  Kegiatan ini, ia jalani bulan demi bulan, tetapi belum juga menunjukkan hasil dan perkembangan yang menggembirakan. Berkali-kali support orangtua memberikan suntikan dana yang tidak kecil jumlahnya. Tetapi tetap saja tidak merubah keadaan yang diharapkan. Akhirnya ia sadari bahwa profesi itu bukan pilihan hatinya. Terpaksa harus ia tinggalkan kegiatan itu.
Sebagai kepala rumah tangga yang harus menanggung biaya rumah tangga, tidak ada alternatif lain, kecuali ia harus bekerja. Ingat akan potensi melukis yang lumayan. Akhirnya ia menetapkan langkahnya menekuni dunia seni lukis. Di tanah kelahiran itu , satu demi satu lukisan wajah dibuatnya, ternyata ada yang terjual. Awal kreatif inilah rupanya yang mendasari keberaniannya mengokohkan diri terjun menekuni dunia lukis, sebagaimana yang  digeluti oleh maestro Indonesia, misalnya, Raden Saleh, Affandi, S. Sudjojono, Dullah, Basuki Abdullah, Soepomo, Sarjito, H. Widayat, Ida Bagus Made, Ketut Soki, dan masih banyak pelukis lainnya.
Diketahui mainstream dunia seni lukis berada di sejumlah kota di Jawa dan Bali, mulailah ia menjalani perjalanan pengembaraan. Misalnya, di Jakarta kawasan Menteng,  Blok M, dan Taman Impian Jaya Ancol yang tidak luput dengan pernik-pernik kesenian. Di Bandung dengan kawasan Puncaknya. Yogyakarta mengakrapi kawasan Malioboro, dan seputaran Keraton Yogyakarta diantaranya kawasan Taman Sari, Prawirotaman, Kota Gede, kawasan handicraft depan Hotel Ambarukno Yogyakarta. Tentu  kawasan Candi Borobudur, dan Candi Prambanan merupakan suasana favorit bagi siapa pun seniman.
Kota-kota NTB, disinggahinya sebagai pencarian jejak langkah inspiratif  kreatif dalam menuangkan karya-karyanya. Debut pengembaraan dalam rangka pencarian itu, ternyata ia tertambat pada indahnya Bali yang debut kesenilukisan tergolong dinamis. Utamanya di seputaran Ubud, Tegalalang, Batu Bulan, dan Gianyar – Bali.
Awal tahun 90-an , ia bertemu dengan Hayat Collection yang bermarkas di Nusa Dua – Bali. Keakrapan pelukis dengan Hayat Collection merupakan simbiosis mutualis. Karya-karyanya banyak diterima di tempat itu. Rupanya Saldy mampu membaca prospek peminat tren kekinian seni lukis. Diakuinya, karya-karya selama ini sebagai penjelajahan –eksperimen kreatifnya. Kemampuan membaca minat para kolektor dan peminat seni lukis menjadikan ia semakin kokoh dalam berkarya. Karya-karyanya cocok dipajang, dipandang dan dinikmati oleh siapa pun. Tidak terbatas bagi kalangan peminat seni yang mempunyai apresiasi seni tinggi, tetapi boleh juga bagi penikmat seni lukis yang sekadar ingin memajang sebagai dekor penyeimbang ruangan.
Hubungan penulis dengan pelukis yang begitu intens, cukup memberikan peluang bagi penulis untuk memberikan ulasan dan apresiasi secukupnya. Semoga tidak berlebihan apabila penulis memberikan penilaian, bahwa pelukis Saldy Essana adalah termasuk seorang pelukis yang kreatif dan produktif. Waktu adalah coretan garis, warna, dan tekstur yang melekat di atas kanvas putihnya. Irama kreatif adalah bidang, dan warna. Ritual kreatif adalah tarian kuas dan kanvas. Karya adalah salah satu bagian aktualisasi komunikasi dengan  profesi. Sebagai kegiatan profesi sekaligus komunikasi diri akan merangkum ide sebagaimana umumnya setiap orang  akan menjalaninya secara sistemik atau sebaliknya idealistic. Pemahaman pada background semacam itu akan memudahkan memahami jangkauan filosofi  karya-karya Saldy Essana.
Mencermati karya-karya Saldy Essana dari 1992 s/d 2006, memang menunjukkan catatan matarantai  dunia ide dengan abstraksi realis karya dengan konsep perjalanan lingkup jejak langkahnya. Saldy, terasa lebih pas dalam menuangkan ide-idenya pada lembar-lembar kanvasnya, bermain simbol-simbol alamiah, cultural, deformasi bentuk, konstruksi kreatif simbolisme sofistik, bahkan sesekali meminjam simbol para mufasir religious. Hal ini dapat dicermati pada karya-karyanya yang berjudul, “Circulation of Season, Inferno Purgatorio Paradiso, the Animals, Bandage the Wound, Adam Eva, Faces of Liar, Eclipse on the Mountain, Deform, dan lain-lainnya. Semuanya menunjukkan ritme abstraksi simbolisme kreatif pencarian awal -  akhir. Sebagaimana ungkapan Edy Sdyawati, Visual Art, 07, Juni-Juli 2005, yang meminjam istilah S. Sudjojono, “Bahwa lukisan merupakan halaman yang mencatat gerak jarum seismograf yang muncul dari ide, perasaan, jiwa – pokoknya gambaran seluruh hidup sang pelukis.”
Saldy, sebagaimana para pelukis lainnya juga mengkonstruksi jejak langkah ruang lingkup kehidupan. Karena pada dasarnya, para seniman telah menyadari  sebagai pencatat sejarah kehidupan manusia. Hal ini sebagaimana telah dijalani para pelukis pada masa peperangan dan revolusi Indonesia sekitar tahun 1930 s/d 1950-an. Affandi, Maestro seni lukis Indonesia, dalam buku Dullah, Karya dalam Peperangan dan Revolusi/Painting in War Revolution, (1983) mengatakan:
“Saya telah wareg mengadakan pelawatan ke luar negeri berbagai negara, masuk keluar museum, tetapi belum pernah saya menjumpai lukisan anak-anak dokumenter seperti ini. Apalagi dibuat langsung pada waktu peristiwa-peristiwa terjadi. Memang lumrah anak-anak yang suka menggambar senang melukis kapal terbang atau mobil. Tetapi bukan kapal terbang yang sedang beraksi dalam satu peperangan sungguh-sungguh, bukan mobil yang sedang dibumihanguskan sendiri karena adanya serbuan tentara asing dari luar. Sebenarnya terlalu matang buat anak berumur 10 tahun telah dapat melukis seperti ini. Saya sudah tua begini  akan kelabakan andaikata membuat komposisi-komposisi seperti ini. Tetapi Toha enak saja. Komposisinya hebat, ceritanya padat dan memikat karena dibuat langsung oleh daya tangkapnya yang tajam – Edan tenan (gila betul), tandasnya.”

Apa yang disampaikan maestro, Affandi, sesungguhnya cukup mengindikasikan, bahwa apapun profesi harus dilakukan secara empatif, profesional, termasuk juga pelukis, seniman dengan karya-karyanya penuh empati totalitas ekspresi, maka hasil karya-karyanya selalu memikat, dan dinanti banyak orang. Saldy sebagai pelukis muda pernah mendapatkan Award 2000, yang diadakan oleh The Winsor & Newton World Wide Milennium Painting Competation.  Selamat. Wallahu a’lam.
Surat Terbuka untuk Ibu
Kepada Tuhanku, Allah SWT. Izinkan tangan ini mampu mengurai memori untuk ibu. Menurut  firman-Mu, begitu berat ibu mengandung dalam perutnya pada hitungan waktu. Lalu, menyapih setelah sampai waktu. Tidak hanya sampai di situ, ibu Menjaga, mendidik, membesarkan, dan membahagiakan hingga mencapai kekokohan kaki tangan anakmu.
Kepada Rasulullah SAW. Begitu banyak mengajariku. Melalui sabdamu: surga di bawah telapak kaki ibu. Sabdamu mengurai Sosok ibu tumpuan rentang waktu. Begitu berat tanggungjawab sosok ibu. Kebaktian anakmu penghulu rindu. Sebesar apa pun kebaktian anakmu, tidak akan pernah sebanding dengan apa yang pernah ibu berikan kepada anakmu.
Kepada ibu tercinta, nun jauh di sana. Kaki taganmu begitu kokoh mengajari  anakmu berjalan, dan menggapai apa yang ingin diraih. Jemari-jemarimu yang lembut mampu meninabobokan keresahan yang melintasi hidup anakmu. Kehangatan tubuhmu mampu mencairkan kebekuan dalam hidup anakmu. Tatapan dingin wajahmu mampu meluruhkan jiwa resah  yang sempat tumbuh dalam perjalanan  anakmu. Jiwa dan hatimu senantiasa mampu mengeja apa yang ada dalam jiwa, dan alam pikiran anakmu. Berlabuh pada sajadah panjang, manakala petang menjelang hingga di ujung malam.
Kepadamu ibu tercinta. Manakala kesenyapan menyelimuti hidupmu, kerna anakmu berada jauh dari lingkaran hidupmu, aku tahu, tak sejengkal waktu luruh mengeja tanya: “Apa yang ia pikirkan?  Bagaimana dia mengelola yang dipikirkan? Bagaimana yang diperbuat pada hasil pemikirannya? Bagaimana dampak yang dia pikirkan?”  Begitu kiranya seorang ibu, dan bukan hal yang aneh apabila seorang ibu memperpanjang pikiran seperti itu. Tepat kiranya, pepatah lama melukiskan, “cinta ibu sepanjang jalan, cinta anak sepanjang galah.”
Maaf, itu penyakit  turunan, Ibu.  anakmu  sekarang tidak seperti itu. anakmu kini sadar  sedang ada di mana sekarang. Anakmu telah melewati era pertanian, era industri, era informasi, era belajar, dan era persaingan global, dan bahkan Insya-Allah sadar akan era dunia-akhirat. Tentu, Ibu, manakala ibu telah mengasuh, dan membesarkan, maka anakmu akan menjaga dan mengembangkan apa yang ibu harapkan. Jikalau ibu senantiasa menggelar sajadah panjang menjelang petang hingga ujung malam untuk anakmu, maka  anakmu pun akan merentang  tasbih, mengurai kasih sepanjang hari hingga malam hari untuk ibu.
Itu pun masih disadari, sebesar apa pun yang dilakukan anakmu untuk ibu, entoh belum sebanding apa yang telah ibu berikan kepada anakmu. Begitu besar yang ibu berikan kepada anakmu. Begitu besar pengorbanan ibu untuk pendidikan anakmu. Begitu besar karakter yang ibu bangun pada jiwa anakmu. Semoga tidak hanya sorga di bawah telapak kaki ibu. Tetapi semoga seluruh jiwa raga ibu sangat layak memasuki sorga Rob-ku.

Ibu, sebagaimana apa yang telah ibu ajarkan kepada  anakmu untuk memanggil belahan jiwa ibu dengan kata-kata, “Bapa, Ayah, Papa, Papi, Babe, Romo, Abah”, apapun istilah itu adalah jantung hidupku. Keberadaan  anakmu karena bapa. Seperempat jantung hidup  anakmu ada dari bapa, dan dua pertiga denyut nadi anakmu ada dari ibu. Semua ibu dan bapa adalah makhluk. Semua setiap makhluk diciptakan oleh Allah SWT. Jadi semua ibu dan bapa diciptakan oleh Allah SWT. Karenanya,  aku layarkan bahtera  ritual hidupku untuk-Nya,  untuk kekasih-Nya, untuk ibu, ibu, ibu, dan bapa, serta untuk kehidupan itu sendiri. Ibu, Ibu, Ibu, Subhanallah. Wallahu a’lam.
Mengurai Tantangan Sarjana-sarjana Agama Islam Masa Kini

Wisuda ke-1, tahun akademik 2013/2014, Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Denpasar-Bali berlangsung khidmat dan meriah. Digelar di Ball Room Hotel Oranjje Denpasar, (21/12/2013) lalu. Wisuda dimeriahkan dengan Tari Bali, dan Kelompok Paduan Suara STAI Denpasar-Bali. Acara tersebut dihadiri oleh para wali mahasiswa, akademisi UIN Sunan Ampel Surabaya, UIN Maulana Malik Ibrahim, Malang, dan IHDN Denpasar, tokoh masyarakat, dan civitas akademika STAI Denpasar–Bali.
Untuk meningkatkan penjaminan mutu program pembelajaran, penelitian, dan pengabdian pada masyarakat, serta peningkatan fasilitas perpustakaan, STAI Denpasar menjalin hubungan kerjasama dengan berbagai pihak, baik di lingkungan pendidikan, perbankan, dan sector lain yang senafas dengan visi, misi STAI Denpasar-Bali. Moment penting Wisuda ke-1 kali ini, dimanfaatkan untuk penandatanganan MoU dengan UIN Malang, dalam hal ini dihadiri oleh Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan, Dr. H. Agus Maimun, M.Pd. Selain itu, Acara wisuda  ke-1 ini dihadiri Kopertais Prof. Dr. H. Abdul A’la, Rektor UIN Surabaya. Disela-sela sambutan Prof A’la memberikan motivasi agar STAI Denpasar secara terus menerus berupaya meningkatkan kualitas pendidikan berbasis keagamaan yang ramah dan profesional.
Ketua STAI Denpasar, Bali, Drs. H. Mahrusun, M.Pd.I, dalam sambutan tersebut mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah mendukung eksistensi, kualitas, dan profesionalitas STAI Denpasar , hingga kini dapat meluluskan sarjana-sarjana, mudah-mudahan bermanfaat bagi Negara, nusa, bangsa, dan agama. Berikut ini merupakan acara ritual akademik, yaitu orasi ilmiah yang disampaikan di tengah-tengah acara Wisuda ke-1 STAI Denpasar,  Bali, sebagaimana tema berikut ini:

Menengok Masa Lalu, Menatap Masa Depan:
Mencermati Peluang dan Tantangan Sarjana Agama
Oleh Dr. H. Agus Maimun, M.Pd.

Assalamualaikum Wr. Wb.
Bismillahirrohmanirrohim.
Yang terhormat, Ketua STAI Denpasar Bali, para Pembantu Ketua, para Pengurus Yayasan, para undangan, para orang tua/wali wisudawan, para wisudawati, dan hadirin sekalian yang berbahagia.
I
                Hari ini, STAI Denpasar Bali melepaskan alumninya. Pelepasan ini menandai selesainya salah satu proses mengemban amanat pendidikan tinggi menuju proses berikutnya, yaitu kehidupan yang senyatanya di masyarakat.
                Dalam suasana seperti sekarang ini, tentunya yang nampak adalah serba menyenangkan dan membanggakan. Bagi para wisudawan dan keluarga. Peristiwa ini adalah sangat mengesankan, karena menyagkut keberhasilan setelah melewati berbagai perjuangan yang melelahkan, baik moril maupun materiil. Betapa tida, selama antara 4-5 tahun energy dan biaya tersebut untuk bisa merampungkan kuliah ini.
                Menurut hemat saya, suasana yang serba menyenangkan dan membanggakan ini mungkin hanya berlangsung sesaat. Mungkin sahari-dua hari, atau paling lama satu minggu. Bagi para alumnui yang sebelumnya belum mepunyai pekerjaan tetap, mulai pikir-pikir. Kemana aku harus melangkah? Kerja apa yang cocok untukku? Dan berbagai pertanyaan yang bernuasa pesimistik. Hal itu suatu yang biasa, dan merupakan romantika hidup. Namun demikian para alumni tidak boleh terbuai dengan lamunan seperti itu, sebab lamunan tidak akan menyelesaikan masalah. Tetapi harus cepat tanggap untuk mengambil peran-peran strategis di masyarakat dengan bekal ilmu yang dimiliki.
II
Hadirin yang terhormat.
                Perguruan tinggi agama Islam (PTAI), salah satu tugasnya adalah menghasilan manusia sebagai sumberdaya yang memiliki kemampuan tinggi. Untuk itu, perguruan tinggi Islam harus dikelola dengan model pengeloaan layaknya industri jasa. Artinya, para staf pengelola perguruan tinggi harus dioperasionalkan sebagai industri pengembangan sumberdaya manusia. Pola itu harus mengacu pada profesionalisme, yaitu senantiasa melakukan sesuatu yang benar dan baik (do the right thing and do it right). Konsekuensinya adalah selalu mengembangkan tingkah laku dan tidakan strategis yang cermat (Semiawan, 1990).
                Profesionalisme juga penting memacu setiap perguruan tinggi dalam melahirkan lulusan yag bermutu. Sebab mutu lulusan juga menjadi tolok ukur untuk mengetahui tinggi rendahnya kualifikasi perguruan tinggi di lingkungan pasar. Hal ini ditunjukkan melalui kemampuan lulusan untuk secara langsung terlibat dan memenangkan persaingan dalam lapangan kerja (Tillar, 1994). Hipotesisnya adalah, semakin banyak alumni yang memasuki sektor kerja kalau mampu sektor kerja yang bergengsi, maka perguruan tinggi itu nampak semakin berkualitas dan diminati oleh banyak orang. Demikian sebaliknya, semakin sedidikt alumni yang memasuki sektor kerja, maka semakin nampak tidak berkualitas dan dijauhi oleh banyak orang.
Untuk itu, PTAI dituntut melakukan perubahan orientasi dengan mengantisipasi perubahan pasar tenaga kerja, sekaligus juga perubahan akan produk-produknya. Upaya untuk mencetak sarjana “siap pakai”  dan mandiri akan menjadi tuntutan dan harapan pada PTAI. Disini PTAI harus lebih bersifat akomodatif. Namun demikian,  sebagai lembaga ilmiah, pada waktunyan nati, PTAI dituntut bersifat aktif dan kreatif untuk dapat berusaha memengaruhi pasar dan arah perubahan social.
                Untuk mewujudkan hal tersebut,  diperlukan strategi yang mantap. Strategi itu mencakup pengembangan kelembagaan yang tercermin dalam: (1) kemampuan tenaga akademik yang handal dalam pemikiran, penelitian,  dan berbagai aktivitas ilmiah, (2) kemampuan tradisi akademik yang mendorong lahirnya kewibawaan akademik bagi seluruh civitas akademika, (3) kemampuan manajemen yang kokoh dan mampu menggerakkan seluruh potensi untuk mengembangkan kreativitas warga kampus, (4) kemampuan antisipatif masa depan dan bersikap proaktif, (5) kemampuan pimpinan mengakomodasikan seluruh potensi yang dimiliki menjadi kekuatan penggerak lembaga secara menyeluruh,  (STAIN, 1988), dan (6) kemampuan pimpinan dan dosen untuk memberikan bekal profesionalisem dan kemandirian kepada mahasiswa. Apabila PTAI mampu melaksanakan hal itu, tidak mustahil akan menjadi lembaga alternative dan berprospek cerah, karena mampu membekali mahasiswa untuk memenangkan persaingan pada millennium ke tiga ini dalam berbagai sektor kerja dan profesi.
                Sesuatu yang harus menjadi perhatian, apapun profesi itu harus didukung dengan profesionalisme yang tinggi. Profesionalisme merupakan keharusan, karena ketatnya persaingan. Pada era pasar bebas, sarjana agama akan bersaing tidak hanya dengan temennya sendiri dari PTAI atau Perguruan Tinggi Umum (PTU), sarjana dari Negara tetangga semacam Singapura, Malaysia, dan Philipina.Pertanyaannya, mampukah para lulusan kita memenangkan persaingan?
III
Jika sarjana agama diidenfifikasi sebagai sarjana lulusan perguruan tinggi agama Islam (PTAI),  baik negeri maupun swasta, maka pembicaraannya harus mengacu pada eksistensi sebagai sarjana agama (S.Ag, S.Pd.I, S.Ud. SHI, dll). Disini akan  nampak jelas tentang peran yang harus dimainkan oleh sarjana agama, yaitu sebagai guru agama, guru ngaji, mubaligh atau da’i, penyuluh agama, hakim agama, konsultan hukum agama, dan pemikir agama. Namun demikian, tidak menutup kemungkinan dapat memilih dan memperoleh profesi di luar bidang ini, asal mampu bersaing dengan sarjana lain.
                Agar mampu memenangkan persaingan tersebut, harus memacu diri dengan meningkatkan kualitas keilmuan secara terencana dengan mengembangkan berbagai kegiatan praktis dan akademis yang lebih produktif. Disamping itu, harus juga meningkatkan kemandirian bagi alumni, sehingga “pasar kerja”  lulusan STAI tidak hanya pada sektor informal, tetapi juga bisa masuk kepada semua sektor formal, termasuk sektor-sektor modern, semacam perbankan. Lebih jauh lagi, dengan kemandirian, alumni PTAI tidak hanya berharap memasuki kerja di lingkungan Kementerian Agama, tetapi juga kementerian-kementerian lain. Sebab kemampan Kementerian Agama sangat terbatas, sehingga tidak mampu mempersiapkan lapangan kerja yang dapat menampung semua lulusan PTAI.
                Daya tampung yang terbatas itu, misalnya di lingkungan Kementerian Agama Republik Indonesia. Daya tampung Kemenag RI setiap tahun untuk beberapa formasi kurang dari 5000 orang. Padahal di Indonesia ada 8 UIN 21 IAIN, 34 STAIN dan lebih dari 700 PTAIS yang diperkirakan setiap tahun menghasilkan lulusan tidak kurang dari 30.000 mahasiswa. Dengan demikian yang bisa diserap hanya sekitar 17 persen dari jumlah lulusan, sehingga 83 %  tidak tertampung. Belum lagi ditambah lulusan tahun-tahun sebelumnya. Bahkan untuk tahun ini, ketika semua sector pendidikan formal sudah terisi, beberapa kementerian telah menerapkan zero growth, sehingga kemungkinan tidak akan ada pengangkatan pegawai lagi.
                Kondisi tersebut, sebenarnya memberikan inspirasi kepada semua PTAI untuk melakukan terobosan baru dengan mengembangkan program yang dapat memberikan bekal kemandirian mahasiswa dengan berbagai program yang dapat memberikan bekal kemandirian mahasiswa dengan berbagai program konkret yang langsung pada persoalan dan kebutuhan riil mahasiswa, yaitu peluang mendapatkan kerja yang layak dan mendapatkan lahan pengabdian yang menjanjikan. Untuk itu, salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah peningkatan profesionalisme dan kewirausahaan. Kedua hal ini merupakan  keniscayaan dan persyaratan vitas dalam menghadapi tantangan masa depan, terutama berkaitan dengan dunia kerja.
                Profesionalisme diperlukan untuk memenangkan persaingan memasuki pasar kerja. Sedang kewirausahaan diperlukan untuk bekal kemandirian. Dalam arti mandiri untuk membangun usaha sendiri, baik lewat lembaga pendidikan, lembaga industri jasa, maupun lembaga perdagangan umum secara professional.
                Menurut hemat saya, profesionalisme dari lulusan PTAI hanya dapat mempunyai bobot tinggi apabila kadar profesionalisme itu diuji oleh dunia swasta, baik dunia pendidikan maupun industri. Misalnya, seorang sarjana Tarbiyah dapat dikatakan professional kalau mampu menjadikan lembaga pendidikan swasta itu tumbuh dan berkembang menjadi besar. Demikian juga sarjana Da’wah dapat dikatakan professional kalau mampu menjadikan dunia industri berkembang dengan pesat, karena motivasi  yang mereka berikan  dapat membangkitkan semangat kerja yang tinggi. Bahkan mereka dapat menjadi contoh dalam hal etos kerja, disiplin, jujur, dan kreatif. Bukan sebaliknya, bahwa profesionalisme sarjana agama ditentukan oleh diterimanya sebagai pegawai negeri yang menempati pos di lembaga negeri.
                Meskipun tantangan pekerjaan dan jabatan bagi sarjana agama semakin berat, bukan berarti peluang sudah tertutup. Banyak pekerjaan dan jabatan yang bisa diraih, kalau mereka mampu memenangkan persaingan dan do’anya terkabul.
IV
Hadirin yang berbahagia
                Apabila kita menengok ke belakang, pada masa lalu, sarjana agama (baca: alumni PTAI) banyak yang menjadi “pilihan umat”. Ketika ada anak muda selesai dari perguruan tinggi (PTAI) dan dapat gelar, banyak orang yang rebut ingin mengambil menantu. Tetapi kini, masih dilihat dan dipertimbangkan, apa sudah bekerja atau belum. Jika sudah, masih ditanya lagi, “dimana, pegawai negeri, atau bukan”. Padahal menjadi pegawai negeri ibarat “memasukkan benang pada lubang jarum di ruang yang gelap”. Sungguh amat susah.
                Demikian juga pada masa lalu, sekitar tahun 70 – 80an, ketika mereka hari ini tamat, banyak yang besuk sudah mendapatkan pekerjaan yang layak. Tetapi saking susahnya banyak orang yang mau membayar berapa saja untuk memperoleh pekerjaan, apalagi menjadi pegawai negeri. Dan anehnya ada juga orang  yang memanfaatkan momentum ini untuk mengambil keuntungan secara pribadi. Akibatnya, para pencari kerja banyak yang kena tipu daya orang-orang yang tidak bertanggungjawab, bahkan uang jutaan rupiah hilang sia-sia, sehingga ada lelucon “Golek Gawe Malah Dadi Gawe”.
                Kondisi tersebut diperparah oleh banyaknya perguruan tinggi yang mem “produk” tenaga kerja secara besar-besaran tanpa memperhatikan pasar kerja para alumninya. Akibatnya, terjadi ledakan pengangguran tenaga kerja produktif. Apalagi diperparah dengan kondisi ekonomi dan politik yang tidak menentu seperti sekarang ini, menyebabkan lapangan kerja semakin sempit dan banyak terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK).
                Berdasarkan data Biro Pusat Statistik (BPS) tahun 2013, yang baru saja dilansir BPS menyatakan, angka pengangguran di Indonesia per-Agustus 2013 melonjak 7,39 juta jiwa dari Agustus 2012 sebanyak 7,24 juta jiwa. Tahun ini dari total pengangguran sebanyak 7,39 juta jiwa. Jika saja setiap sarjana yang menganggung itu mampu mandiri dengan berwirausaha, maka akan mengurangi setidaknya 30 ribu pengangguran.
                Namun demikian, menurut Rahardjo (1992), ada beberapa profesi alternatif untuk mengisi elit strategis yang perlu dipikirkan dan bisa dipersiapkan oleh PTAI, asal dilakukan secara sungguh-sungguh atau serius, yaitu: (1) negarawan dan politisi, (2) pemimpin masyarakat, (3) ulama atau da’i, (4) intelektual  bebas, (5) pengajar, (6) peneliti sosial atau ilmu pasti, (7) berbagai jenis tenaga professional, (8) manajer, (9) seniman-budayawan, (10) wartawan atau publicist.
                Dengan banyaknya pilihan profesi tersebut, menunjukkan banyak peluang bagi sarjana muslim dan sekaligus tantangan. Sebagai peluang, kalau mereka mampu memenangkan persaingan, maka akan dapat meraih profesi itu. Sebagai tantangan, kalau mereka tidak mampu memenangkan persaingan, maka akan menjadi kelompok marginal (pinggiran) dan hanya menjadi penonton dalam panggung sejarah kehidupan. Kalau yang terakhir ini terjadi, maka pupuslah sudah harapan untuk ikut serta mengisi formasi masyarakat baru, dan kita siap-siap untuk berada di halaman belakang rumah para elit strategis itu yang nota bene bukan kelompok kita.
                Beberapa tantangan tersebut, memberikan inspirasi kepada PTAI untuk memacu diri meningkatkan kualitas secara maksimal. Artinya PTAI harus mampu melahirkan tenaga-tenaga “siap pakai” yang dapat bersaing, bersanding, dan bertanding dengan perguruan tinggi lain dalam memasuki pasar bebas. Namun demikian, sebagai lembaga ilmiah, bagaimana pun PTAI harus tetap memegang prinsip-prinsip etika ilmiah dan etika profesi yang dibingkai dengan nilai-nilai religious, tanpa harus terperangkap pada “bursa” dan tenaga kerja. Dengan demikian, wajah kampus sebagai masyarakat kecil (small society) dan komunitas ilmiah religius (religious-scientific community) yang harus mendukung hidup suburnya tradisi ilmiah religius, yakni berkembangnya wawasan berfikir ilmiah yang bersendikan pada ajaran agama harus tetap terjaga.
V
Hadirin yang terhormat
                Apabila kita menganggap bahwa, alumni merupakan salah satu asset kelembagaan, maka PTAI harus mampu memberikan bekal kepada lulusannya beberapa kemampuan, yaitu: (1) kemampuan untuk menganalisa, (2) kemampuan untuk inovasi, (3) kemampuan untuk memimpin, (4) kemampuan untuk mengapresiasikan ajaran agama secara “ramah” atau Islam wasatho, dan (5) kemampuan mengaplikasikan ilmunya secara mantap. Disamping itu, secara spesifik, PTAI harus mengembangkan jiwa enterpreunership. Menurut Tilaar (1998), jiwa-jiwa tersebut tercermin dalam sifat-sifat: (1) mandiri, (2) berorientasi pada servis, (3) interdependensi secara sehat, (4) focus kepada pelanggan, (5) kolaboratif, dan (6) koordinatif, sehingga sangat mementingkan teamwork (kerja kelompok) yang tangguh.
                Kelima kemampuan dan keenam sikap tersebut hanya dapat dihasilkan oleh pendidikan tinggi yang berkualitas. Untuk menciptakan pendidikan yang berkualitas, harus dikelola dengan sungguh-sungguh, kerja keras dan kerja cerdas. Tanpa itu semua, mustahil kita dapat menghasilkan  lulusan yang berkualitas, yang para alumninya dapat menduduki berbagai sektor modern dan menjadi pilihan umat.
                Akhirnya, saya mengucapkan selamat kepada wisudawan dan wisudawati, teriring do’a semoga selalu mendapatkan lindungan dari Allah swt dan selalu ditunjukkan kepada jalan yang lurus, jalan yang diridloi-Nya. Amin.
Wassalaualaikum Wr. Wb.
Denpasar – Bali, 21 Desember 2013
DAFTAR BACAAN
Agus Maimun. (2011). Revolusi Paradigma Kesarjanaan. Bekal Bagi Calon Sarjana. Makalah Tidak Diterbitkan. Tulungagung: STAIN.
Semiawan, C. (1990). Profesionalisme Jabatan Guru. Makalah Seminar Nasional Profil Guru Abad 21. Semarang: IKIP.
STAIN (1998). Visi, Misi & Tradisi Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Malang. Malang: STAIN.
Tilaar, H.A.R. (1994). Manajemen Pendidikan Nasional. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Tilaar H.A.R. (1998). Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional. Dalam perspektif Abad 21. Magelang: Tera Indonesia.