Mengurai
Tantangan Sarjana-sarjana Agama Islam Masa Kini
Wisuda
ke-1, tahun akademik 2013/2014, Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Denpasar-Bali
berlangsung khidmat dan meriah. Digelar di Ball Room Hotel Oranjje Denpasar,
(21/12/2013) lalu. Wisuda dimeriahkan dengan Tari Bali, dan Kelompok Paduan
Suara STAI Denpasar-Bali. Acara tersebut dihadiri oleh para wali mahasiswa,
akademisi UIN Sunan Ampel Surabaya, UIN Maulana Malik Ibrahim, Malang, dan IHDN
Denpasar, tokoh masyarakat, dan civitas akademika STAI Denpasar–Bali.
Untuk
meningkatkan penjaminan mutu program pembelajaran, penelitian, dan pengabdian
pada masyarakat, serta peningkatan fasilitas perpustakaan, STAI Denpasar
menjalin hubungan kerjasama dengan berbagai pihak, baik di lingkungan pendidikan,
perbankan, dan sector lain yang senafas dengan visi, misi STAI Denpasar-Bali.
Moment penting Wisuda ke-1 kali ini, dimanfaatkan untuk penandatanganan MoU
dengan UIN Malang, dalam hal ini dihadiri oleh Wakil Rektor Bidang
Kemahasiswaan, Dr. H. Agus Maimun, M.Pd. Selain itu, Acara wisuda ke-1 ini dihadiri Kopertais Prof. Dr. H.
Abdul A’la, Rektor UIN Surabaya. Disela-sela sambutan Prof A’la memberikan
motivasi agar STAI Denpasar secara terus menerus berupaya meningkatkan kualitas
pendidikan berbasis keagamaan yang ramah dan profesional.
Ketua
STAI Denpasar, Bali, Drs. H. Mahrusun, M.Pd.I, dalam sambutan tersebut
mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah mendukung eksistensi,
kualitas, dan profesionalitas STAI Denpasar , hingga kini dapat meluluskan
sarjana-sarjana, mudah-mudahan bermanfaat bagi Negara, nusa, bangsa, dan agama.
Berikut ini merupakan acara ritual akademik, yaitu orasi ilmiah yang
disampaikan di tengah-tengah acara Wisuda ke-1 STAI Denpasar, Bali, sebagaimana tema berikut ini:
Menengok Masa Lalu, Menatap Masa Depan:
Mencermati Peluang dan Tantangan Sarjana Agama
Oleh Dr. H. Agus Maimun, M.Pd.
Assalamualaikum Wr. Wb.
Bismillahirrohmanirrohim.
Yang terhormat,
Ketua STAI Denpasar Bali, para Pembantu Ketua, para Pengurus Yayasan, para
undangan, para orang tua/wali wisudawan, para wisudawati, dan hadirin sekalian
yang berbahagia.
I
Hari ini, STAI Denpasar Bali
melepaskan alumninya. Pelepasan ini menandai selesainya salah satu proses
mengemban amanat pendidikan tinggi menuju proses berikutnya, yaitu kehidupan
yang senyatanya di masyarakat.
Dalam suasana seperti sekarang
ini, tentunya yang nampak adalah serba menyenangkan dan membanggakan. Bagi para
wisudawan dan keluarga. Peristiwa ini adalah sangat mengesankan, karena
menyagkut keberhasilan setelah melewati berbagai perjuangan yang melelahkan,
baik moril maupun materiil. Betapa tida, selama antara 4-5 tahun energy dan
biaya tersebut untuk bisa merampungkan kuliah ini.
Menurut hemat saya, suasana yang
serba menyenangkan dan membanggakan ini mungkin hanya berlangsung sesaat.
Mungkin sahari-dua hari, atau paling lama satu minggu. Bagi para alumnui yang
sebelumnya belum mepunyai pekerjaan tetap, mulai pikir-pikir. Kemana aku harus
melangkah? Kerja apa yang cocok untukku? Dan berbagai pertanyaan yang bernuasa
pesimistik. Hal itu suatu yang biasa, dan merupakan romantika hidup. Namun
demikian para alumni tidak boleh terbuai dengan lamunan seperti itu, sebab
lamunan tidak akan menyelesaikan masalah. Tetapi harus cepat tanggap untuk
mengambil peran-peran strategis di masyarakat dengan bekal ilmu yang dimiliki.
II
Hadirin yang
terhormat.
Perguruan tinggi agama Islam
(PTAI), salah satu tugasnya adalah menghasilan manusia sebagai sumberdaya yang
memiliki kemampuan tinggi. Untuk itu, perguruan tinggi Islam harus dikelola
dengan model pengeloaan layaknya industri jasa. Artinya, para staf pengelola
perguruan tinggi harus dioperasionalkan sebagai industri pengembangan
sumberdaya manusia. Pola itu harus mengacu pada profesionalisme, yaitu
senantiasa melakukan sesuatu yang benar dan baik (do the right thing and do
it right). Konsekuensinya adalah selalu mengembangkan tingkah laku dan
tidakan strategis yang cermat (Semiawan, 1990).
Profesionalisme juga penting
memacu setiap perguruan tinggi dalam melahirkan lulusan yag bermutu. Sebab mutu
lulusan juga menjadi tolok ukur untuk mengetahui tinggi rendahnya kualifikasi
perguruan tinggi di lingkungan pasar. Hal ini ditunjukkan melalui kemampuan
lulusan untuk secara langsung terlibat dan memenangkan persaingan dalam
lapangan kerja (Tillar, 1994). Hipotesisnya adalah, semakin banyak alumni yang
memasuki sektor kerja kalau mampu sektor kerja yang bergengsi, maka perguruan
tinggi itu nampak semakin berkualitas dan diminati oleh banyak orang. Demikian
sebaliknya, semakin sedidikt alumni yang memasuki sektor kerja, maka semakin nampak
tidak berkualitas dan dijauhi oleh banyak orang.
Untuk itu, PTAI dituntut melakukan perubahan orientasi dengan mengantisipasi
perubahan pasar tenaga kerja, sekaligus juga perubahan akan produk-produknya.
Upaya untuk mencetak sarjana “siap pakai”
dan mandiri akan menjadi tuntutan dan harapan pada PTAI. Disini PTAI
harus lebih bersifat akomodatif. Namun demikian, sebagai lembaga ilmiah, pada waktunyan nati,
PTAI dituntut bersifat aktif dan kreatif untuk dapat berusaha memengaruhi pasar
dan arah perubahan social.
Untuk mewujudkan hal
tersebut, diperlukan strategi yang
mantap. Strategi itu mencakup pengembangan kelembagaan yang tercermin dalam:
(1) kemampuan tenaga akademik yang handal dalam pemikiran, penelitian, dan berbagai aktivitas ilmiah, (2) kemampuan
tradisi akademik yang mendorong lahirnya kewibawaan akademik bagi seluruh
civitas akademika, (3) kemampuan manajemen yang kokoh dan mampu menggerakkan
seluruh potensi untuk mengembangkan kreativitas warga kampus, (4) kemampuan
antisipatif masa depan dan bersikap proaktif, (5) kemampuan pimpinan
mengakomodasikan seluruh potensi yang dimiliki menjadi kekuatan penggerak
lembaga secara menyeluruh, (STAIN,
1988), dan (6) kemampuan pimpinan dan dosen untuk memberikan bekal
profesionalisem dan kemandirian kepada mahasiswa. Apabila PTAI mampu
melaksanakan hal itu, tidak mustahil akan menjadi lembaga alternative dan
berprospek cerah, karena mampu membekali mahasiswa untuk memenangkan persaingan
pada millennium ke tiga ini dalam berbagai sektor kerja dan profesi.
Sesuatu yang harus menjadi
perhatian, apapun profesi itu harus didukung dengan profesionalisme yang
tinggi. Profesionalisme merupakan keharusan, karena ketatnya persaingan. Pada
era pasar bebas, sarjana agama akan bersaing tidak hanya dengan temennya
sendiri dari PTAI atau Perguruan Tinggi Umum (PTU), sarjana dari Negara
tetangga semacam Singapura, Malaysia, dan Philipina.Pertanyaannya, mampukah
para lulusan kita memenangkan persaingan?
III
Jika sarjana agama diidenfifikasi sebagai sarjana lulusan perguruan
tinggi agama Islam (PTAI), baik negeri
maupun swasta, maka pembicaraannya harus mengacu pada eksistensi sebagai sarjana
agama (S.Ag, S.Pd.I, S.Ud. SHI, dll). Disini akan nampak jelas tentang peran yang harus
dimainkan oleh sarjana agama, yaitu sebagai guru agama, guru ngaji, mubaligh
atau da’i, penyuluh agama, hakim agama, konsultan hukum agama, dan pemikir agama.
Namun demikian, tidak menutup kemungkinan dapat memilih dan memperoleh profesi
di luar bidang ini, asal mampu bersaing dengan sarjana lain.
Agar mampu memenangkan
persaingan tersebut, harus memacu diri dengan meningkatkan kualitas keilmuan
secara terencana dengan mengembangkan berbagai kegiatan praktis dan akademis
yang lebih produktif. Disamping itu, harus juga meningkatkan kemandirian bagi
alumni, sehingga “pasar kerja” lulusan
STAI tidak hanya pada sektor informal, tetapi juga bisa masuk kepada semua sektor
formal, termasuk sektor-sektor modern, semacam perbankan. Lebih jauh lagi,
dengan kemandirian, alumni PTAI tidak hanya berharap memasuki kerja di
lingkungan Kementerian Agama, tetapi juga kementerian-kementerian lain. Sebab
kemampan Kementerian Agama sangat terbatas, sehingga tidak mampu mempersiapkan
lapangan kerja yang dapat menampung semua lulusan PTAI.
Daya tampung yang terbatas itu,
misalnya di lingkungan Kementerian Agama Republik Indonesia. Daya tampung
Kemenag RI setiap tahun untuk beberapa formasi kurang dari 5000 orang. Padahal di
Indonesia ada 8 UIN 21 IAIN, 34 STAIN dan lebih dari 700 PTAIS yang
diperkirakan setiap tahun menghasilkan lulusan tidak kurang dari 30.000
mahasiswa. Dengan demikian yang bisa diserap hanya sekitar 17 persen dari
jumlah lulusan, sehingga 83 % tidak
tertampung. Belum lagi ditambah lulusan tahun-tahun sebelumnya. Bahkan untuk
tahun ini, ketika semua sector pendidikan formal sudah terisi, beberapa
kementerian telah menerapkan zero growth, sehingga kemungkinan tidak akan
ada pengangkatan pegawai lagi.
Kondisi tersebut, sebenarnya
memberikan inspirasi kepada semua PTAI untuk melakukan terobosan baru dengan
mengembangkan program yang dapat memberikan bekal kemandirian mahasiswa dengan
berbagai program yang dapat memberikan bekal kemandirian mahasiswa dengan
berbagai program konkret yang langsung pada persoalan dan kebutuhan riil
mahasiswa, yaitu peluang mendapatkan kerja yang layak dan mendapatkan lahan
pengabdian yang menjanjikan. Untuk itu, salah satu upaya yang dapat dilakukan
adalah peningkatan profesionalisme dan kewirausahaan. Kedua hal ini
merupakan keniscayaan dan persyaratan
vitas dalam menghadapi tantangan masa depan, terutama berkaitan dengan dunia
kerja.
Profesionalisme diperlukan untuk
memenangkan persaingan memasuki pasar kerja. Sedang kewirausahaan diperlukan
untuk bekal kemandirian. Dalam arti mandiri untuk membangun usaha sendiri, baik
lewat lembaga pendidikan, lembaga industri jasa, maupun lembaga perdagangan
umum secara professional.
Menurut hemat saya,
profesionalisme dari lulusan PTAI hanya dapat mempunyai bobot tinggi apabila
kadar profesionalisme itu diuji oleh dunia swasta, baik dunia pendidikan maupun
industri. Misalnya, seorang sarjana Tarbiyah dapat dikatakan professional kalau
mampu menjadikan lembaga pendidikan swasta itu tumbuh dan berkembang menjadi
besar. Demikian juga sarjana Da’wah dapat dikatakan professional kalau mampu
menjadikan dunia industri berkembang dengan pesat, karena motivasi yang mereka berikan dapat membangkitkan semangat kerja yang
tinggi. Bahkan mereka dapat menjadi contoh dalam hal etos kerja, disiplin,
jujur, dan kreatif. Bukan sebaliknya, bahwa profesionalisme sarjana agama
ditentukan oleh diterimanya sebagai pegawai negeri yang menempati pos di
lembaga negeri.
Meskipun tantangan pekerjaan dan
jabatan bagi sarjana agama semakin berat, bukan berarti peluang sudah tertutup.
Banyak pekerjaan dan jabatan yang bisa diraih, kalau mereka mampu memenangkan
persaingan dan do’anya terkabul.
IV
Hadirin yang
berbahagia
Apabila kita menengok ke
belakang, pada masa lalu, sarjana agama (baca: alumni PTAI) banyak yang menjadi
“pilihan umat”. Ketika ada anak muda selesai dari perguruan tinggi (PTAI) dan
dapat gelar, banyak orang yang rebut ingin mengambil menantu. Tetapi kini, masih
dilihat dan dipertimbangkan, apa sudah bekerja atau belum. Jika sudah, masih
ditanya lagi, “dimana, pegawai negeri, atau bukan”. Padahal menjadi pegawai
negeri ibarat “memasukkan benang pada lubang jarum di ruang yang gelap”.
Sungguh amat susah.
Demikian juga pada masa lalu,
sekitar tahun 70 – 80an, ketika mereka hari ini tamat, banyak yang besuk sudah mendapatkan
pekerjaan yang layak. Tetapi saking susahnya banyak orang yang mau membayar
berapa saja untuk memperoleh pekerjaan, apalagi menjadi pegawai negeri. Dan
anehnya ada juga orang yang memanfaatkan
momentum ini untuk mengambil keuntungan secara pribadi. Akibatnya, para pencari
kerja banyak yang kena tipu daya orang-orang yang tidak bertanggungjawab,
bahkan uang jutaan rupiah hilang sia-sia, sehingga ada lelucon “Golek Gawe
Malah Dadi Gawe”.
Kondisi tersebut diperparah oleh
banyaknya perguruan tinggi yang mem “produk” tenaga kerja secara besar-besaran
tanpa memperhatikan pasar kerja para alumninya. Akibatnya, terjadi ledakan
pengangguran tenaga kerja produktif. Apalagi diperparah dengan kondisi ekonomi
dan politik yang tidak menentu seperti sekarang ini, menyebabkan lapangan kerja
semakin sempit dan banyak terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK).
Berdasarkan data Biro Pusat
Statistik (BPS) tahun 2013, yang baru saja dilansir BPS menyatakan, angka
pengangguran di Indonesia per-Agustus 2013 melonjak 7,39 juta jiwa dari Agustus
2012 sebanyak 7,24 juta jiwa. Tahun ini dari total pengangguran sebanyak 7,39
juta jiwa. Jika saja setiap sarjana yang menganggung itu mampu mandiri dengan
berwirausaha, maka akan mengurangi setidaknya 30 ribu pengangguran.
Namun demikian, menurut Rahardjo
(1992), ada beberapa profesi alternatif untuk mengisi elit strategis yang perlu
dipikirkan dan bisa dipersiapkan oleh PTAI, asal dilakukan secara
sungguh-sungguh atau serius, yaitu: (1) negarawan dan politisi, (2) pemimpin
masyarakat, (3) ulama atau da’i, (4) intelektual bebas, (5) pengajar, (6) peneliti sosial atau
ilmu pasti, (7) berbagai jenis tenaga professional, (8) manajer, (9)
seniman-budayawan, (10) wartawan atau publicist.
Dengan banyaknya pilihan profesi
tersebut, menunjukkan banyak peluang bagi sarjana muslim dan sekaligus
tantangan. Sebagai peluang, kalau mereka mampu memenangkan persaingan, maka
akan dapat meraih profesi itu. Sebagai tantangan, kalau mereka tidak mampu
memenangkan persaingan, maka akan menjadi kelompok marginal (pinggiran) dan
hanya menjadi penonton dalam panggung sejarah kehidupan. Kalau yang terakhir
ini terjadi, maka pupuslah sudah harapan untuk ikut serta mengisi formasi
masyarakat baru, dan kita siap-siap untuk berada di halaman belakang rumah para
elit strategis itu yang nota bene bukan kelompok kita.
Beberapa tantangan tersebut, memberikan
inspirasi kepada PTAI untuk memacu diri meningkatkan kualitas secara maksimal.
Artinya PTAI harus mampu melahirkan tenaga-tenaga “siap pakai” yang dapat
bersaing, bersanding, dan bertanding dengan perguruan tinggi lain dalam
memasuki pasar bebas. Namun demikian, sebagai lembaga ilmiah, bagaimana pun PTAI
harus tetap memegang prinsip-prinsip etika ilmiah dan etika profesi yang
dibingkai dengan nilai-nilai religious, tanpa harus terperangkap pada “bursa”
dan tenaga kerja. Dengan demikian, wajah kampus sebagai masyarakat kecil (small
society) dan komunitas ilmiah religius (religious-scientific community) yang
harus mendukung hidup suburnya tradisi ilmiah religius, yakni berkembangnya
wawasan berfikir ilmiah yang bersendikan pada ajaran agama harus tetap terjaga.
V
Hadirin yang
terhormat
Apabila kita menganggap bahwa,
alumni merupakan salah satu asset kelembagaan, maka PTAI harus mampu memberikan
bekal kepada lulusannya beberapa kemampuan, yaitu: (1) kemampuan untuk
menganalisa, (2) kemampuan untuk inovasi, (3) kemampuan untuk memimpin, (4)
kemampuan untuk mengapresiasikan ajaran agama secara “ramah” atau Islam
wasatho, dan (5) kemampuan mengaplikasikan ilmunya secara mantap. Disamping
itu, secara spesifik, PTAI harus mengembangkan jiwa enterpreunership. Menurut
Tilaar (1998), jiwa-jiwa tersebut tercermin dalam sifat-sifat: (1) mandiri, (2)
berorientasi pada servis, (3) interdependensi secara sehat, (4) focus kepada
pelanggan, (5) kolaboratif, dan (6) koordinatif, sehingga sangat mementingkan
teamwork (kerja kelompok) yang tangguh.
Kelima kemampuan dan keenam
sikap tersebut hanya dapat dihasilkan oleh pendidikan tinggi yang berkualitas.
Untuk menciptakan pendidikan yang berkualitas, harus dikelola dengan
sungguh-sungguh, kerja keras dan kerja cerdas. Tanpa itu semua, mustahil kita
dapat menghasilkan lulusan yang
berkualitas, yang para alumninya dapat menduduki berbagai sektor modern dan
menjadi pilihan umat.
Akhirnya, saya mengucapkan
selamat kepada wisudawan dan wisudawati, teriring do’a semoga selalu
mendapatkan lindungan dari Allah swt dan selalu ditunjukkan kepada jalan yang
lurus, jalan yang diridloi-Nya. Amin.
Wassalaualaikum
Wr. Wb.
Denpasar – Bali,
21 Desember 2013
DAFTAR
BACAAN
Agus Maimun. (2011). Revolusi Paradigma Kesarjanaan.
Bekal Bagi Calon Sarjana. Makalah Tidak Diterbitkan. Tulungagung: STAIN.
Semiawan, C. (1990). Profesionalisme Jabatan Guru.
Makalah Seminar Nasional Profil Guru Abad 21. Semarang: IKIP.
STAIN (1998).
Visi, Misi & Tradisi Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Malang.
Malang: STAIN.
Tilaar, H.A.R.
(1994). Manajemen Pendidikan Nasional. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Tilaar H.A.R. (1998). Beberapa Agenda Reformasi
Pendidikan Nasional. Dalam perspektif Abad 21. Magelang: Tera Indonesia.