Abstraksi
Simbolis: Karya Saldy Essana
Sejak di bangku
sekolah dasar, saldy Essana, seperti yang dituturkan di sela-sela pertemuaan
dengan penulis, ia telah mempunyai minat dalam bidang seni lukis. Sewaktu guru
memberikan pelajaran menggambar, ia telah menunjukkan bakat tersendiri di
bidang studi ini, kenangnya. Nilai pelajaran menggambar, tidak mengecewakan,
bahkan selalu mendapat pujian dari sang guru.
Saat memasuki bangku SMP, pelajaran yang satu ini sangat dominan.
Sket-sket sang guru tercinta atau teman-teman pujaan di sekolah tidak luput
memenuhi buku-buku gambarnya. Sesama teman seangkatan, ia dikenal sebagai murid
yang dipercaya untuk membuat dekor-dekor indah untuk menghiasi papan-papan
aktivitas siswa, seperti majalah dinding, papan pengumuman atau kreasi lainnya.
Pada saat sekolah mengadakan peringatan 17-an, berbagai macam kreasi dibuatnya
sangat menarik. Minat ini terus
dijalaninya hingga memasuki bangku SMA hingga pada masa akhir studi.
Minat yang begitu dominan pada dunia seni lukis, kemudian ia meneruskan
studi di Institut Kesenian Jakarta (IKJ), kenangnya. Sayang, studinya itu putus
di tengah jalan, karena suatu hal yang dilakukan penuh kesadaran. Berlanjut
kawin muda dengan gadis pujaannya. Ia sadar sebagai kepala rumah tangga, dengan
berbagai hak dan kewajiban yang harus dipenuhinya. Kiat-kiat penopang kehidupan
berusaha ditegakkan. Orangtua tidak tinggal diam dengan kenyataan itu. Mereka
membekalinya dengan sepetak kios yang ada di depan rumahnya agar dapat
mengadakan aktivitas ekonomi. Kegiatan
ini, ia jalani bulan demi bulan, tetapi belum juga menunjukkan hasil dan
perkembangan yang menggembirakan. Berkali-kali support orangtua memberikan
suntikan dana yang tidak kecil jumlahnya. Tetapi tetap saja tidak merubah
keadaan yang diharapkan. Akhirnya ia sadari bahwa profesi itu bukan pilihan
hatinya. Terpaksa harus ia tinggalkan kegiatan itu.
Sebagai kepala rumah tangga yang harus menanggung biaya rumah tangga,
tidak ada alternatif lain, kecuali ia harus bekerja. Ingat akan potensi melukis
yang lumayan. Akhirnya ia menetapkan langkahnya menekuni dunia seni lukis. Di
tanah kelahiran itu , satu demi satu lukisan wajah dibuatnya, ternyata ada yang
terjual. Awal kreatif inilah rupanya yang mendasari keberaniannya mengokohkan
diri terjun menekuni dunia lukis, sebagaimana yang digeluti oleh maestro Indonesia, misalnya,
Raden Saleh, Affandi, S. Sudjojono, Dullah, Basuki Abdullah, Soepomo, Sarjito,
H. Widayat, Ida Bagus Made, Ketut Soki, dan masih banyak pelukis lainnya.
Diketahui mainstream dunia seni lukis berada di sejumlah kota di Jawa dan
Bali, mulailah ia menjalani perjalanan pengembaraan. Misalnya, di Jakarta
kawasan Menteng, Blok M, dan Taman
Impian Jaya Ancol yang tidak luput dengan pernik-pernik kesenian. Di Bandung
dengan kawasan Puncaknya. Yogyakarta mengakrapi kawasan Malioboro, dan seputaran
Keraton Yogyakarta diantaranya kawasan Taman Sari, Prawirotaman, Kota Gede,
kawasan handicraft depan Hotel Ambarukno Yogyakarta. Tentu kawasan Candi Borobudur, dan Candi Prambanan
merupakan suasana favorit bagi siapa pun seniman.
Kota-kota NTB, disinggahinya sebagai pencarian jejak langkah
inspiratif kreatif dalam menuangkan
karya-karyanya. Debut pengembaraan dalam rangka pencarian itu, ternyata ia
tertambat pada indahnya Bali yang debut kesenilukisan tergolong dinamis. Utamanya
di seputaran Ubud, Tegalalang, Batu Bulan, dan Gianyar – Bali.
Awal tahun 90-an , ia bertemu dengan Hayat Collection yang bermarkas di
Nusa Dua – Bali. Keakrapan pelukis dengan Hayat Collection merupakan simbiosis
mutualis. Karya-karyanya banyak diterima di tempat itu. Rupanya Saldy mampu
membaca prospek peminat tren kekinian seni lukis. Diakuinya, karya-karya selama
ini sebagai penjelajahan –eksperimen kreatifnya. Kemampuan membaca minat para
kolektor dan peminat seni lukis menjadikan ia semakin kokoh dalam berkarya.
Karya-karyanya cocok dipajang, dipandang dan dinikmati oleh siapa pun. Tidak
terbatas bagi kalangan peminat seni yang mempunyai apresiasi seni tinggi,
tetapi boleh juga bagi penikmat seni lukis yang sekadar ingin memajang sebagai
dekor penyeimbang ruangan.
Hubungan penulis dengan pelukis yang begitu intens, cukup memberikan peluang
bagi penulis untuk memberikan ulasan dan apresiasi secukupnya. Semoga tidak
berlebihan apabila penulis memberikan penilaian, bahwa pelukis Saldy Essana
adalah termasuk seorang pelukis yang kreatif dan produktif. Waktu adalah
coretan garis, warna, dan tekstur yang melekat di atas kanvas putihnya. Irama
kreatif adalah bidang, dan warna. Ritual kreatif adalah tarian kuas dan kanvas.
Karya adalah salah satu bagian aktualisasi komunikasi dengan profesi. Sebagai kegiatan profesi sekaligus
komunikasi diri akan merangkum ide sebagaimana umumnya setiap orang akan menjalaninya secara sistemik atau
sebaliknya idealistic. Pemahaman pada background semacam itu akan memudahkan
memahami jangkauan filosofi karya-karya
Saldy Essana.
Mencermati karya-karya Saldy Essana dari 1992 s/d 2006, memang
menunjukkan catatan matarantai dunia ide
dengan abstraksi realis karya dengan konsep perjalanan lingkup jejak
langkahnya. Saldy, terasa lebih pas dalam menuangkan ide-idenya pada
lembar-lembar kanvasnya, bermain simbol-simbol alamiah, cultural, deformasi
bentuk, konstruksi kreatif simbolisme sofistik, bahkan sesekali meminjam simbol
para mufasir religious. Hal ini dapat dicermati pada karya-karyanya yang
berjudul, “Circulation of Season, Inferno Purgatorio Paradiso, the Animals,
Bandage the Wound, Adam Eva, Faces of Liar, Eclipse on the Mountain, Deform,
dan lain-lainnya. Semuanya menunjukkan ritme abstraksi simbolisme kreatif
pencarian awal - akhir. Sebagaimana ungkapan
Edy Sdyawati, Visual Art, 07, Juni-Juli 2005, yang meminjam istilah S.
Sudjojono, “Bahwa lukisan merupakan halaman yang mencatat gerak jarum
seismograf yang muncul dari ide, perasaan, jiwa – pokoknya gambaran seluruh
hidup sang pelukis.”
Saldy, sebagaimana para pelukis lainnya juga mengkonstruksi jejak langkah
ruang lingkup kehidupan. Karena pada dasarnya, para seniman telah
menyadari sebagai pencatat sejarah
kehidupan manusia. Hal ini sebagaimana telah dijalani para pelukis pada masa
peperangan dan revolusi Indonesia sekitar tahun 1930 s/d 1950-an. Affandi, Maestro
seni lukis Indonesia, dalam buku Dullah, Karya dalam Peperangan dan
Revolusi/Painting in War Revolution, (1983) mengatakan:
“Saya telah wareg mengadakan pelawatan ke luar negeri berbagai negara,
masuk keluar museum, tetapi belum pernah saya menjumpai lukisan anak-anak dokumenter
seperti ini. Apalagi dibuat langsung pada waktu peristiwa-peristiwa terjadi.
Memang lumrah anak-anak yang suka menggambar senang melukis kapal terbang atau
mobil. Tetapi bukan kapal terbang yang sedang beraksi dalam satu peperangan
sungguh-sungguh, bukan mobil yang sedang dibumihanguskan sendiri karena adanya
serbuan tentara asing dari luar. Sebenarnya terlalu matang buat anak berumur 10
tahun telah dapat melukis seperti ini. Saya sudah tua begini akan kelabakan andaikata membuat
komposisi-komposisi seperti ini. Tetapi Toha enak saja. Komposisinya hebat,
ceritanya padat dan memikat karena dibuat langsung oleh daya tangkapnya yang
tajam – Edan tenan (gila betul), tandasnya.”
Apa yang disampaikan maestro, Affandi, sesungguhnya cukup
mengindikasikan, bahwa apapun profesi harus dilakukan secara empatif,
profesional, termasuk juga pelukis, seniman dengan karya-karyanya penuh empati
totalitas ekspresi, maka hasil karya-karyanya selalu memikat, dan dinanti
banyak orang. Saldy sebagai pelukis muda pernah mendapatkan Award 2000, yang
diadakan oleh The Winsor & Newton World Wide Milennium Painting
Competation. Selamat. Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Kata dan bahasa menunjukan jiwa