Selasa, 24 Desember 2013

Abstraksi Simbolis: Karya Saldy Essana

Sejak di bangku sekolah dasar, saldy Essana, seperti yang dituturkan di sela-sela pertemuaan dengan penulis, ia telah mempunyai minat dalam bidang seni lukis. Sewaktu guru memberikan pelajaran menggambar, ia telah menunjukkan bakat tersendiri di bidang studi ini, kenangnya. Nilai pelajaran menggambar, tidak mengecewakan, bahkan selalu mendapat pujian dari sang guru.
Saat memasuki bangku SMP, pelajaran yang satu ini sangat dominan. Sket-sket sang guru tercinta atau teman-teman pujaan di sekolah tidak luput memenuhi buku-buku gambarnya. Sesama teman seangkatan, ia dikenal sebagai murid yang dipercaya untuk membuat dekor-dekor indah untuk menghiasi papan-papan aktivitas siswa, seperti majalah dinding, papan pengumuman atau kreasi lainnya. Pada saat sekolah mengadakan peringatan 17-an, berbagai macam kreasi dibuatnya sangat menarik.  Minat ini terus dijalaninya hingga memasuki bangku SMA hingga pada masa akhir studi.
Minat yang begitu dominan pada dunia seni lukis, kemudian ia meneruskan studi di Institut Kesenian Jakarta (IKJ), kenangnya. Sayang, studinya itu putus di tengah jalan, karena suatu hal yang dilakukan penuh kesadaran. Berlanjut kawin muda dengan gadis pujaannya. Ia sadar sebagai kepala rumah tangga, dengan berbagai hak dan kewajiban yang harus dipenuhinya. Kiat-kiat penopang kehidupan berusaha ditegakkan. Orangtua tidak tinggal diam dengan kenyataan itu. Mereka membekalinya dengan sepetak kios yang ada di depan rumahnya agar dapat mengadakan aktivitas ekonomi.  Kegiatan ini, ia jalani bulan demi bulan, tetapi belum juga menunjukkan hasil dan perkembangan yang menggembirakan. Berkali-kali support orangtua memberikan suntikan dana yang tidak kecil jumlahnya. Tetapi tetap saja tidak merubah keadaan yang diharapkan. Akhirnya ia sadari bahwa profesi itu bukan pilihan hatinya. Terpaksa harus ia tinggalkan kegiatan itu.
Sebagai kepala rumah tangga yang harus menanggung biaya rumah tangga, tidak ada alternatif lain, kecuali ia harus bekerja. Ingat akan potensi melukis yang lumayan. Akhirnya ia menetapkan langkahnya menekuni dunia seni lukis. Di tanah kelahiran itu , satu demi satu lukisan wajah dibuatnya, ternyata ada yang terjual. Awal kreatif inilah rupanya yang mendasari keberaniannya mengokohkan diri terjun menekuni dunia lukis, sebagaimana yang  digeluti oleh maestro Indonesia, misalnya, Raden Saleh, Affandi, S. Sudjojono, Dullah, Basuki Abdullah, Soepomo, Sarjito, H. Widayat, Ida Bagus Made, Ketut Soki, dan masih banyak pelukis lainnya.
Diketahui mainstream dunia seni lukis berada di sejumlah kota di Jawa dan Bali, mulailah ia menjalani perjalanan pengembaraan. Misalnya, di Jakarta kawasan Menteng,  Blok M, dan Taman Impian Jaya Ancol yang tidak luput dengan pernik-pernik kesenian. Di Bandung dengan kawasan Puncaknya. Yogyakarta mengakrapi kawasan Malioboro, dan seputaran Keraton Yogyakarta diantaranya kawasan Taman Sari, Prawirotaman, Kota Gede, kawasan handicraft depan Hotel Ambarukno Yogyakarta. Tentu  kawasan Candi Borobudur, dan Candi Prambanan merupakan suasana favorit bagi siapa pun seniman.
Kota-kota NTB, disinggahinya sebagai pencarian jejak langkah inspiratif  kreatif dalam menuangkan karya-karyanya. Debut pengembaraan dalam rangka pencarian itu, ternyata ia tertambat pada indahnya Bali yang debut kesenilukisan tergolong dinamis. Utamanya di seputaran Ubud, Tegalalang, Batu Bulan, dan Gianyar – Bali.
Awal tahun 90-an , ia bertemu dengan Hayat Collection yang bermarkas di Nusa Dua – Bali. Keakrapan pelukis dengan Hayat Collection merupakan simbiosis mutualis. Karya-karyanya banyak diterima di tempat itu. Rupanya Saldy mampu membaca prospek peminat tren kekinian seni lukis. Diakuinya, karya-karya selama ini sebagai penjelajahan –eksperimen kreatifnya. Kemampuan membaca minat para kolektor dan peminat seni lukis menjadikan ia semakin kokoh dalam berkarya. Karya-karyanya cocok dipajang, dipandang dan dinikmati oleh siapa pun. Tidak terbatas bagi kalangan peminat seni yang mempunyai apresiasi seni tinggi, tetapi boleh juga bagi penikmat seni lukis yang sekadar ingin memajang sebagai dekor penyeimbang ruangan.
Hubungan penulis dengan pelukis yang begitu intens, cukup memberikan peluang bagi penulis untuk memberikan ulasan dan apresiasi secukupnya. Semoga tidak berlebihan apabila penulis memberikan penilaian, bahwa pelukis Saldy Essana adalah termasuk seorang pelukis yang kreatif dan produktif. Waktu adalah coretan garis, warna, dan tekstur yang melekat di atas kanvas putihnya. Irama kreatif adalah bidang, dan warna. Ritual kreatif adalah tarian kuas dan kanvas. Karya adalah salah satu bagian aktualisasi komunikasi dengan  profesi. Sebagai kegiatan profesi sekaligus komunikasi diri akan merangkum ide sebagaimana umumnya setiap orang  akan menjalaninya secara sistemik atau sebaliknya idealistic. Pemahaman pada background semacam itu akan memudahkan memahami jangkauan filosofi  karya-karya Saldy Essana.
Mencermati karya-karya Saldy Essana dari 1992 s/d 2006, memang menunjukkan catatan matarantai  dunia ide dengan abstraksi realis karya dengan konsep perjalanan lingkup jejak langkahnya. Saldy, terasa lebih pas dalam menuangkan ide-idenya pada lembar-lembar kanvasnya, bermain simbol-simbol alamiah, cultural, deformasi bentuk, konstruksi kreatif simbolisme sofistik, bahkan sesekali meminjam simbol para mufasir religious. Hal ini dapat dicermati pada karya-karyanya yang berjudul, “Circulation of Season, Inferno Purgatorio Paradiso, the Animals, Bandage the Wound, Adam Eva, Faces of Liar, Eclipse on the Mountain, Deform, dan lain-lainnya. Semuanya menunjukkan ritme abstraksi simbolisme kreatif pencarian awal -  akhir. Sebagaimana ungkapan Edy Sdyawati, Visual Art, 07, Juni-Juli 2005, yang meminjam istilah S. Sudjojono, “Bahwa lukisan merupakan halaman yang mencatat gerak jarum seismograf yang muncul dari ide, perasaan, jiwa – pokoknya gambaran seluruh hidup sang pelukis.”
Saldy, sebagaimana para pelukis lainnya juga mengkonstruksi jejak langkah ruang lingkup kehidupan. Karena pada dasarnya, para seniman telah menyadari  sebagai pencatat sejarah kehidupan manusia. Hal ini sebagaimana telah dijalani para pelukis pada masa peperangan dan revolusi Indonesia sekitar tahun 1930 s/d 1950-an. Affandi, Maestro seni lukis Indonesia, dalam buku Dullah, Karya dalam Peperangan dan Revolusi/Painting in War Revolution, (1983) mengatakan:
“Saya telah wareg mengadakan pelawatan ke luar negeri berbagai negara, masuk keluar museum, tetapi belum pernah saya menjumpai lukisan anak-anak dokumenter seperti ini. Apalagi dibuat langsung pada waktu peristiwa-peristiwa terjadi. Memang lumrah anak-anak yang suka menggambar senang melukis kapal terbang atau mobil. Tetapi bukan kapal terbang yang sedang beraksi dalam satu peperangan sungguh-sungguh, bukan mobil yang sedang dibumihanguskan sendiri karena adanya serbuan tentara asing dari luar. Sebenarnya terlalu matang buat anak berumur 10 tahun telah dapat melukis seperti ini. Saya sudah tua begini  akan kelabakan andaikata membuat komposisi-komposisi seperti ini. Tetapi Toha enak saja. Komposisinya hebat, ceritanya padat dan memikat karena dibuat langsung oleh daya tangkapnya yang tajam – Edan tenan (gila betul), tandasnya.”

Apa yang disampaikan maestro, Affandi, sesungguhnya cukup mengindikasikan, bahwa apapun profesi harus dilakukan secara empatif, profesional, termasuk juga pelukis, seniman dengan karya-karyanya penuh empati totalitas ekspresi, maka hasil karya-karyanya selalu memikat, dan dinanti banyak orang. Saldy sebagai pelukis muda pernah mendapatkan Award 2000, yang diadakan oleh The Winsor & Newton World Wide Milennium Painting Competation.  Selamat. Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kata dan bahasa menunjukan jiwa