Selasa, 24 Desember 2013

Mengurai Tantangan Sarjana-sarjana Agama Islam Masa Kini

Wisuda ke-1, tahun akademik 2013/2014, Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Denpasar-Bali berlangsung khidmat dan meriah. Digelar di Ball Room Hotel Oranjje Denpasar, (21/12/2013) lalu. Wisuda dimeriahkan dengan Tari Bali, dan Kelompok Paduan Suara STAI Denpasar-Bali. Acara tersebut dihadiri oleh para wali mahasiswa, akademisi UIN Sunan Ampel Surabaya, UIN Maulana Malik Ibrahim, Malang, dan IHDN Denpasar, tokoh masyarakat, dan civitas akademika STAI Denpasar–Bali.
Untuk meningkatkan penjaminan mutu program pembelajaran, penelitian, dan pengabdian pada masyarakat, serta peningkatan fasilitas perpustakaan, STAI Denpasar menjalin hubungan kerjasama dengan berbagai pihak, baik di lingkungan pendidikan, perbankan, dan sector lain yang senafas dengan visi, misi STAI Denpasar-Bali. Moment penting Wisuda ke-1 kali ini, dimanfaatkan untuk penandatanganan MoU dengan UIN Malang, dalam hal ini dihadiri oleh Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan, Dr. H. Agus Maimun, M.Pd. Selain itu, Acara wisuda  ke-1 ini dihadiri Kopertais Prof. Dr. H. Abdul A’la, Rektor UIN Surabaya. Disela-sela sambutan Prof A’la memberikan motivasi agar STAI Denpasar secara terus menerus berupaya meningkatkan kualitas pendidikan berbasis keagamaan yang ramah dan profesional.
Ketua STAI Denpasar, Bali, Drs. H. Mahrusun, M.Pd.I, dalam sambutan tersebut mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah mendukung eksistensi, kualitas, dan profesionalitas STAI Denpasar , hingga kini dapat meluluskan sarjana-sarjana, mudah-mudahan bermanfaat bagi Negara, nusa, bangsa, dan agama. Berikut ini merupakan acara ritual akademik, yaitu orasi ilmiah yang disampaikan di tengah-tengah acara Wisuda ke-1 STAI Denpasar,  Bali, sebagaimana tema berikut ini:

Menengok Masa Lalu, Menatap Masa Depan:
Mencermati Peluang dan Tantangan Sarjana Agama
Oleh Dr. H. Agus Maimun, M.Pd.

Assalamualaikum Wr. Wb.
Bismillahirrohmanirrohim.
Yang terhormat, Ketua STAI Denpasar Bali, para Pembantu Ketua, para Pengurus Yayasan, para undangan, para orang tua/wali wisudawan, para wisudawati, dan hadirin sekalian yang berbahagia.
I
                Hari ini, STAI Denpasar Bali melepaskan alumninya. Pelepasan ini menandai selesainya salah satu proses mengemban amanat pendidikan tinggi menuju proses berikutnya, yaitu kehidupan yang senyatanya di masyarakat.
                Dalam suasana seperti sekarang ini, tentunya yang nampak adalah serba menyenangkan dan membanggakan. Bagi para wisudawan dan keluarga. Peristiwa ini adalah sangat mengesankan, karena menyagkut keberhasilan setelah melewati berbagai perjuangan yang melelahkan, baik moril maupun materiil. Betapa tida, selama antara 4-5 tahun energy dan biaya tersebut untuk bisa merampungkan kuliah ini.
                Menurut hemat saya, suasana yang serba menyenangkan dan membanggakan ini mungkin hanya berlangsung sesaat. Mungkin sahari-dua hari, atau paling lama satu minggu. Bagi para alumnui yang sebelumnya belum mepunyai pekerjaan tetap, mulai pikir-pikir. Kemana aku harus melangkah? Kerja apa yang cocok untukku? Dan berbagai pertanyaan yang bernuasa pesimistik. Hal itu suatu yang biasa, dan merupakan romantika hidup. Namun demikian para alumni tidak boleh terbuai dengan lamunan seperti itu, sebab lamunan tidak akan menyelesaikan masalah. Tetapi harus cepat tanggap untuk mengambil peran-peran strategis di masyarakat dengan bekal ilmu yang dimiliki.
II
Hadirin yang terhormat.
                Perguruan tinggi agama Islam (PTAI), salah satu tugasnya adalah menghasilan manusia sebagai sumberdaya yang memiliki kemampuan tinggi. Untuk itu, perguruan tinggi Islam harus dikelola dengan model pengeloaan layaknya industri jasa. Artinya, para staf pengelola perguruan tinggi harus dioperasionalkan sebagai industri pengembangan sumberdaya manusia. Pola itu harus mengacu pada profesionalisme, yaitu senantiasa melakukan sesuatu yang benar dan baik (do the right thing and do it right). Konsekuensinya adalah selalu mengembangkan tingkah laku dan tidakan strategis yang cermat (Semiawan, 1990).
                Profesionalisme juga penting memacu setiap perguruan tinggi dalam melahirkan lulusan yag bermutu. Sebab mutu lulusan juga menjadi tolok ukur untuk mengetahui tinggi rendahnya kualifikasi perguruan tinggi di lingkungan pasar. Hal ini ditunjukkan melalui kemampuan lulusan untuk secara langsung terlibat dan memenangkan persaingan dalam lapangan kerja (Tillar, 1994). Hipotesisnya adalah, semakin banyak alumni yang memasuki sektor kerja kalau mampu sektor kerja yang bergengsi, maka perguruan tinggi itu nampak semakin berkualitas dan diminati oleh banyak orang. Demikian sebaliknya, semakin sedidikt alumni yang memasuki sektor kerja, maka semakin nampak tidak berkualitas dan dijauhi oleh banyak orang.
Untuk itu, PTAI dituntut melakukan perubahan orientasi dengan mengantisipasi perubahan pasar tenaga kerja, sekaligus juga perubahan akan produk-produknya. Upaya untuk mencetak sarjana “siap pakai”  dan mandiri akan menjadi tuntutan dan harapan pada PTAI. Disini PTAI harus lebih bersifat akomodatif. Namun demikian,  sebagai lembaga ilmiah, pada waktunyan nati, PTAI dituntut bersifat aktif dan kreatif untuk dapat berusaha memengaruhi pasar dan arah perubahan social.
                Untuk mewujudkan hal tersebut,  diperlukan strategi yang mantap. Strategi itu mencakup pengembangan kelembagaan yang tercermin dalam: (1) kemampuan tenaga akademik yang handal dalam pemikiran, penelitian,  dan berbagai aktivitas ilmiah, (2) kemampuan tradisi akademik yang mendorong lahirnya kewibawaan akademik bagi seluruh civitas akademika, (3) kemampuan manajemen yang kokoh dan mampu menggerakkan seluruh potensi untuk mengembangkan kreativitas warga kampus, (4) kemampuan antisipatif masa depan dan bersikap proaktif, (5) kemampuan pimpinan mengakomodasikan seluruh potensi yang dimiliki menjadi kekuatan penggerak lembaga secara menyeluruh,  (STAIN, 1988), dan (6) kemampuan pimpinan dan dosen untuk memberikan bekal profesionalisem dan kemandirian kepada mahasiswa. Apabila PTAI mampu melaksanakan hal itu, tidak mustahil akan menjadi lembaga alternative dan berprospek cerah, karena mampu membekali mahasiswa untuk memenangkan persaingan pada millennium ke tiga ini dalam berbagai sektor kerja dan profesi.
                Sesuatu yang harus menjadi perhatian, apapun profesi itu harus didukung dengan profesionalisme yang tinggi. Profesionalisme merupakan keharusan, karena ketatnya persaingan. Pada era pasar bebas, sarjana agama akan bersaing tidak hanya dengan temennya sendiri dari PTAI atau Perguruan Tinggi Umum (PTU), sarjana dari Negara tetangga semacam Singapura, Malaysia, dan Philipina.Pertanyaannya, mampukah para lulusan kita memenangkan persaingan?
III
Jika sarjana agama diidenfifikasi sebagai sarjana lulusan perguruan tinggi agama Islam (PTAI),  baik negeri maupun swasta, maka pembicaraannya harus mengacu pada eksistensi sebagai sarjana agama (S.Ag, S.Pd.I, S.Ud. SHI, dll). Disini akan  nampak jelas tentang peran yang harus dimainkan oleh sarjana agama, yaitu sebagai guru agama, guru ngaji, mubaligh atau da’i, penyuluh agama, hakim agama, konsultan hukum agama, dan pemikir agama. Namun demikian, tidak menutup kemungkinan dapat memilih dan memperoleh profesi di luar bidang ini, asal mampu bersaing dengan sarjana lain.
                Agar mampu memenangkan persaingan tersebut, harus memacu diri dengan meningkatkan kualitas keilmuan secara terencana dengan mengembangkan berbagai kegiatan praktis dan akademis yang lebih produktif. Disamping itu, harus juga meningkatkan kemandirian bagi alumni, sehingga “pasar kerja”  lulusan STAI tidak hanya pada sektor informal, tetapi juga bisa masuk kepada semua sektor formal, termasuk sektor-sektor modern, semacam perbankan. Lebih jauh lagi, dengan kemandirian, alumni PTAI tidak hanya berharap memasuki kerja di lingkungan Kementerian Agama, tetapi juga kementerian-kementerian lain. Sebab kemampan Kementerian Agama sangat terbatas, sehingga tidak mampu mempersiapkan lapangan kerja yang dapat menampung semua lulusan PTAI.
                Daya tampung yang terbatas itu, misalnya di lingkungan Kementerian Agama Republik Indonesia. Daya tampung Kemenag RI setiap tahun untuk beberapa formasi kurang dari 5000 orang. Padahal di Indonesia ada 8 UIN 21 IAIN, 34 STAIN dan lebih dari 700 PTAIS yang diperkirakan setiap tahun menghasilkan lulusan tidak kurang dari 30.000 mahasiswa. Dengan demikian yang bisa diserap hanya sekitar 17 persen dari jumlah lulusan, sehingga 83 %  tidak tertampung. Belum lagi ditambah lulusan tahun-tahun sebelumnya. Bahkan untuk tahun ini, ketika semua sector pendidikan formal sudah terisi, beberapa kementerian telah menerapkan zero growth, sehingga kemungkinan tidak akan ada pengangkatan pegawai lagi.
                Kondisi tersebut, sebenarnya memberikan inspirasi kepada semua PTAI untuk melakukan terobosan baru dengan mengembangkan program yang dapat memberikan bekal kemandirian mahasiswa dengan berbagai program yang dapat memberikan bekal kemandirian mahasiswa dengan berbagai program konkret yang langsung pada persoalan dan kebutuhan riil mahasiswa, yaitu peluang mendapatkan kerja yang layak dan mendapatkan lahan pengabdian yang menjanjikan. Untuk itu, salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah peningkatan profesionalisme dan kewirausahaan. Kedua hal ini merupakan  keniscayaan dan persyaratan vitas dalam menghadapi tantangan masa depan, terutama berkaitan dengan dunia kerja.
                Profesionalisme diperlukan untuk memenangkan persaingan memasuki pasar kerja. Sedang kewirausahaan diperlukan untuk bekal kemandirian. Dalam arti mandiri untuk membangun usaha sendiri, baik lewat lembaga pendidikan, lembaga industri jasa, maupun lembaga perdagangan umum secara professional.
                Menurut hemat saya, profesionalisme dari lulusan PTAI hanya dapat mempunyai bobot tinggi apabila kadar profesionalisme itu diuji oleh dunia swasta, baik dunia pendidikan maupun industri. Misalnya, seorang sarjana Tarbiyah dapat dikatakan professional kalau mampu menjadikan lembaga pendidikan swasta itu tumbuh dan berkembang menjadi besar. Demikian juga sarjana Da’wah dapat dikatakan professional kalau mampu menjadikan dunia industri berkembang dengan pesat, karena motivasi  yang mereka berikan  dapat membangkitkan semangat kerja yang tinggi. Bahkan mereka dapat menjadi contoh dalam hal etos kerja, disiplin, jujur, dan kreatif. Bukan sebaliknya, bahwa profesionalisme sarjana agama ditentukan oleh diterimanya sebagai pegawai negeri yang menempati pos di lembaga negeri.
                Meskipun tantangan pekerjaan dan jabatan bagi sarjana agama semakin berat, bukan berarti peluang sudah tertutup. Banyak pekerjaan dan jabatan yang bisa diraih, kalau mereka mampu memenangkan persaingan dan do’anya terkabul.
IV
Hadirin yang berbahagia
                Apabila kita menengok ke belakang, pada masa lalu, sarjana agama (baca: alumni PTAI) banyak yang menjadi “pilihan umat”. Ketika ada anak muda selesai dari perguruan tinggi (PTAI) dan dapat gelar, banyak orang yang rebut ingin mengambil menantu. Tetapi kini, masih dilihat dan dipertimbangkan, apa sudah bekerja atau belum. Jika sudah, masih ditanya lagi, “dimana, pegawai negeri, atau bukan”. Padahal menjadi pegawai negeri ibarat “memasukkan benang pada lubang jarum di ruang yang gelap”. Sungguh amat susah.
                Demikian juga pada masa lalu, sekitar tahun 70 – 80an, ketika mereka hari ini tamat, banyak yang besuk sudah mendapatkan pekerjaan yang layak. Tetapi saking susahnya banyak orang yang mau membayar berapa saja untuk memperoleh pekerjaan, apalagi menjadi pegawai negeri. Dan anehnya ada juga orang  yang memanfaatkan momentum ini untuk mengambil keuntungan secara pribadi. Akibatnya, para pencari kerja banyak yang kena tipu daya orang-orang yang tidak bertanggungjawab, bahkan uang jutaan rupiah hilang sia-sia, sehingga ada lelucon “Golek Gawe Malah Dadi Gawe”.
                Kondisi tersebut diperparah oleh banyaknya perguruan tinggi yang mem “produk” tenaga kerja secara besar-besaran tanpa memperhatikan pasar kerja para alumninya. Akibatnya, terjadi ledakan pengangguran tenaga kerja produktif. Apalagi diperparah dengan kondisi ekonomi dan politik yang tidak menentu seperti sekarang ini, menyebabkan lapangan kerja semakin sempit dan banyak terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK).
                Berdasarkan data Biro Pusat Statistik (BPS) tahun 2013, yang baru saja dilansir BPS menyatakan, angka pengangguran di Indonesia per-Agustus 2013 melonjak 7,39 juta jiwa dari Agustus 2012 sebanyak 7,24 juta jiwa. Tahun ini dari total pengangguran sebanyak 7,39 juta jiwa. Jika saja setiap sarjana yang menganggung itu mampu mandiri dengan berwirausaha, maka akan mengurangi setidaknya 30 ribu pengangguran.
                Namun demikian, menurut Rahardjo (1992), ada beberapa profesi alternatif untuk mengisi elit strategis yang perlu dipikirkan dan bisa dipersiapkan oleh PTAI, asal dilakukan secara sungguh-sungguh atau serius, yaitu: (1) negarawan dan politisi, (2) pemimpin masyarakat, (3) ulama atau da’i, (4) intelektual  bebas, (5) pengajar, (6) peneliti sosial atau ilmu pasti, (7) berbagai jenis tenaga professional, (8) manajer, (9) seniman-budayawan, (10) wartawan atau publicist.
                Dengan banyaknya pilihan profesi tersebut, menunjukkan banyak peluang bagi sarjana muslim dan sekaligus tantangan. Sebagai peluang, kalau mereka mampu memenangkan persaingan, maka akan dapat meraih profesi itu. Sebagai tantangan, kalau mereka tidak mampu memenangkan persaingan, maka akan menjadi kelompok marginal (pinggiran) dan hanya menjadi penonton dalam panggung sejarah kehidupan. Kalau yang terakhir ini terjadi, maka pupuslah sudah harapan untuk ikut serta mengisi formasi masyarakat baru, dan kita siap-siap untuk berada di halaman belakang rumah para elit strategis itu yang nota bene bukan kelompok kita.
                Beberapa tantangan tersebut, memberikan inspirasi kepada PTAI untuk memacu diri meningkatkan kualitas secara maksimal. Artinya PTAI harus mampu melahirkan tenaga-tenaga “siap pakai” yang dapat bersaing, bersanding, dan bertanding dengan perguruan tinggi lain dalam memasuki pasar bebas. Namun demikian, sebagai lembaga ilmiah, bagaimana pun PTAI harus tetap memegang prinsip-prinsip etika ilmiah dan etika profesi yang dibingkai dengan nilai-nilai religious, tanpa harus terperangkap pada “bursa” dan tenaga kerja. Dengan demikian, wajah kampus sebagai masyarakat kecil (small society) dan komunitas ilmiah religius (religious-scientific community) yang harus mendukung hidup suburnya tradisi ilmiah religius, yakni berkembangnya wawasan berfikir ilmiah yang bersendikan pada ajaran agama harus tetap terjaga.
V
Hadirin yang terhormat
                Apabila kita menganggap bahwa, alumni merupakan salah satu asset kelembagaan, maka PTAI harus mampu memberikan bekal kepada lulusannya beberapa kemampuan, yaitu: (1) kemampuan untuk menganalisa, (2) kemampuan untuk inovasi, (3) kemampuan untuk memimpin, (4) kemampuan untuk mengapresiasikan ajaran agama secara “ramah” atau Islam wasatho, dan (5) kemampuan mengaplikasikan ilmunya secara mantap. Disamping itu, secara spesifik, PTAI harus mengembangkan jiwa enterpreunership. Menurut Tilaar (1998), jiwa-jiwa tersebut tercermin dalam sifat-sifat: (1) mandiri, (2) berorientasi pada servis, (3) interdependensi secara sehat, (4) focus kepada pelanggan, (5) kolaboratif, dan (6) koordinatif, sehingga sangat mementingkan teamwork (kerja kelompok) yang tangguh.
                Kelima kemampuan dan keenam sikap tersebut hanya dapat dihasilkan oleh pendidikan tinggi yang berkualitas. Untuk menciptakan pendidikan yang berkualitas, harus dikelola dengan sungguh-sungguh, kerja keras dan kerja cerdas. Tanpa itu semua, mustahil kita dapat menghasilkan  lulusan yang berkualitas, yang para alumninya dapat menduduki berbagai sektor modern dan menjadi pilihan umat.
                Akhirnya, saya mengucapkan selamat kepada wisudawan dan wisudawati, teriring do’a semoga selalu mendapatkan lindungan dari Allah swt dan selalu ditunjukkan kepada jalan yang lurus, jalan yang diridloi-Nya. Amin.
Wassalaualaikum Wr. Wb.
Denpasar – Bali, 21 Desember 2013
DAFTAR BACAAN
Agus Maimun. (2011). Revolusi Paradigma Kesarjanaan. Bekal Bagi Calon Sarjana. Makalah Tidak Diterbitkan. Tulungagung: STAIN.
Semiawan, C. (1990). Profesionalisme Jabatan Guru. Makalah Seminar Nasional Profil Guru Abad 21. Semarang: IKIP.
STAIN (1998). Visi, Misi & Tradisi Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Malang. Malang: STAIN.
Tilaar, H.A.R. (1994). Manajemen Pendidikan Nasional. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Tilaar H.A.R. (1998). Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional. Dalam perspektif Abad 21. Magelang: Tera Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kata dan bahasa menunjukan jiwa