OBITUARI: SABASTIANUS HAYONG
Sosok yang satu
ini dikenal penulis sebagai orang yang bersahaja, sederhana, apa adanya,
humoris, enerjik, dan hebatnya tidak pernah mengeluh. Suami Ibu Agnes Made
Karmi, yang menyukai kostum topi ala cerpenis Putu Wijaya ini, lahir 2 Oktober
1957 di Kawaliwu, Kecamatan Tanjung Bunga, Flotim (Flores Timur). Ayah Hilaria
Florida Hayong, anak pertama almarhum, berlatar belakang pendidikan SD, SMP,
dan SPG di Larantuka, Flotim. Hijrah ke kota Kupang 1977 untuk melanjutkan
pendidikan di Undana Kupang. Bertahan tidak lebih dari enam bulan duduk di
Fakultas Pendidikan dan Keguruan Jurusan Didaktik Kurikulum.
Medio 1978, orangtua Margaretha Rosa Dwirahayu Hayong –
anak kedua almarhum ini, hijrah ke Pulau
Dewata diangkat dan mengabdi sebagai guru Katholik di salah satu Sekolah Dasar
di Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung. Tidak puas dengan hasil pendidikan di
Kupang, Tahun 1984 mencoba lagi menapaki bangku studi di IKIP PGRI Bali
Fakultas Bahasa dan Seni, jurusan Bahasa Indonesia, namun tidak tamat.
Tahun 1999
kuliah jarak jauh filial IPI Malang tamat tahun 2000, dengan gelar Ahli Madya
Pendidikan bidang Studi Pendidikan Agama Katholik. Kemudian menyelesaikan
strata S-1 jarak jauh di IPI Malang, jurusan Pendidikan Agama Katholik. Aktivitas
organisasi tidak diragukan lagi, baik sosial, keagamaan, kemasyarakatan maupun
Gerejani. Membidani jalan bagi Marriage Encounter Keuskupan Denpasar. Bergabung dalam Tim Kerja Komisi Kepemudaan
Puspas Keuskupan Denpasar Bidang Kaderisasi. Sempat aktif dalam kepengurusan
KNPI Bali. Aktif di Forum Kerukunan Umat Beragama Kabupaten Badung tidak kurang
dari lima belas tahun. Sempat juga menjabat sebagai sekretaris LPM Kelurahan
Abianbase, Mengwi. Disebut juga sebagai Bapak pada Gerakan Koperasi Kredit
Indonesia, bahkan bersama rekan-rekan membidani lahirnya beberapa primer
anggota Puskopdit Bali Arta Guna.
Matang dengan
aktivitas kegiatan koperasinya, kemudian dipercaya menjabat sebagai ketua KSP
Wisuda Guna Raharja dan Ketua Skunder Puskopdit Bali Artha Guna Denpasar. Prinsip
yang selalu dibangun adalah otodidak,
belajar, dan berlatih mengembangkan diri. Moto yang selalu menjadi integritas diri dalam perjalanan hidup, ayah
dari Trinugraha Hayong-anak ketiga
almarhum ini, “Hidup adalah perjuangan,
tidak ada hal yang tidak bisa kalau kita mau.”
Apa yang
dipikirkan tidak sebatas ide dalam angan-angan belaka, tetapi selalu menjadi
suatu ikhtiar aplikatif. Sebagaimana suatu saat berkesempatan menjadi
fasilitator gerakan, dan beberapa kali
memberikan training, pelatihan di beberapa kota di Jawa Timur, NTT bahkan
Kalimantan Selatan. Menulis beberapa buku saku antara lain buku saku Koperasi,
buku saku Senandung Rindu, Hal-hal Praktis dalam Berbahasa, Butir-butir Kearifan yang Menuntun. Buku-buku
tersebut diterbitkan sebatas untuk kalangan sendiri. Masih banyak yang ingin
direngkuh oleh saudara yang satu ini, tetapi Tuhan berkehendak lain pada
tanggal 14 Januari 2013. Selamat jalan, sahabat. (Imam Muhayat).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Kata dan bahasa menunjukan jiwa